Pengembangan e-Government Daerah


Kecanggihan teknologi yang sering diidentikan dengan proses konvergensi komunikasi dari konvensional menuju digital, tanpa disadari telah merubah pola hidup manusia dalam berbagai sektor kehidupan. Pada era yang disebut “information age” ini, media elektronik menjadi salah satu media andalan dalam melakukan komunikasi.  Internet misalnya, merupakan salah satu produk kecanggihan teknologi yang sering dijadikan alat komunikasi antar-penggunanya. Penggunaannya pun bervariasi dari mulai pencarian informasi (browsing), pertukaran informasi (information exchange), sampai pada transaksi online.

Kecanggihan tersebut ternyata berdampak juga pada sektor pelayanan publik. Pada 2003, Pemerintah Indonesia meluncurkan sebuah kebijakan melalui Inpres No. 3/2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government, yang tentunya ditujukan untuk peningkatan kualitas pelayanan publik yang diselenggarakan. Semenjak diberlakukannya Inpres tersebut beserta perangkat teknisnya, e-government menjadi istilah yang cukup popular. Peraturan Menteri Kominfo No. 28/2006 yang mengharuskan pembuatan domain milik pemerintah dengan ekstensi go.id membawa istilah e-government sampai pada tingkat daerah dalam bentuk pengelolaan website daerah dengan ekstensi tersebut. Pemerintah daerah pun seakan berlomba mengembangkan dan menerapkan sistem e-government, dari yang hanya sekedar menampilkan profil daerahnya, hingga pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagai basis pelayanan kepada masyarakat. Namun
dalam tataran implementasi, keberhasilan e-government masih belum seperti yang diharapkan. Pengembangan e-government terkesan sebuah euphoria, mengikuti trend, dan belum dilaksanakan dengan maksimal. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai hambatan yang muncul dalam implementasi e-government.

Berdasarkan survey yang dilakukan United Nations 2010, Indonesia menempati peringkat ke-7 dari 11 negara di ASEAN, dan peringkat ke-109 dari 184 negara di dunia (United Nations, 2010:70). Sementara itu, Rokhman (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Is e-Government Not Compatible with Our Culture?, menyebutkan bahwa kebanyakan dari situs pemerintah daerah masih belum memenuhi harapan pengguna (telah dibahas pada tulisan sebelumnya, klik disini). Sedangkan Sanusi (2010) lebih rinci lagi mendeteksi kelemahan penerapan sistem e-government Indonesia yang dikelompokkan dalam empat kategori, diantaranya: 1) manajemen kerja yang belum efektif, 2) minimnya alokasi anggaran dan lemahnya strategi perencanaan, 3) rendahnya koordinasi antar-instanis pemerintahan, 4) minimnya infrastruktur.

Kegagalan dan kelemahan penerapan tersebut tentu saja tidak terlepas dari lemahnya unsur pengembang e-government. Menurut hasil riset dari Harvard JFK School of Government (dalam Indrajit, 2004) terdapat tiga elemen sukses pengembangan e-government, diantaranya adalah, 1) Support, yaitu dukungan yang diberikan oleh pemerintah setempat guna kelancaran program e-government. Dukungan ini bukan hanya berbentuk lisan semata, melainkan dalam bentuk suprastruktur yang mendukung terwujudnya “impian” e-government. 2) Capacity, yaitu keberdayaan dan kemampuan pemerintah setempat dalam hal SDM yang handal, sumberdaya keuangan, dan infrasturktur, dan 3) Value, yaitu nilai manfaat yang dirasakan para pengguna layanan, baik masyarakat, swasta, maupun pemerintah sendiri dengan adanya penerapan e-government. Salah dalam mengerti kebutuhan pengguna layanan justru akan menjadi boomerang bagi pengembang e-government. Alhasil, e-government akan menjadi momok yang membosankan bagi para pengguna layanan (end users).

Lantas, bagaimana dengan pengembangan e-government di Kabupaten Brebes yang katanya sedang gencar melakukan pengembangan konsep e-government? Sejauhmana persiapan mereka dalam mengembangkan e-government sebagai basis pelayanan publik? Mampukah pada 2013 Brebes mengintegrasikan pelayanannya melalui konsep tersebut seperti yang dicanangkan kementrian kominfo?

Sedikit Gambaran di Brebes:
Brebes sebagai salah satu kabupaten yang telah melaksanakan amanat PerMen Kominfo No. 28/2006 tentang kepemilikan domain website dengan ekstensi go.id (brebeskab.go.id) berusaha untuk meningkatkan kinerjanya dalam pengembangan e-government. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendinamiskan isi tampilan website daerah yang dikelolanya, dari yang semula hanya menampilkan profil daerah, updating informasi, menampilkan prosedur layanan, sampai pada pemanfaatan website daerah menjadi alat komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat melalui forum.brebeskab.go.id (meski sering not found, heehee…). Sedangkan pengembangan terkini adalah pemasangan IP Cam, semacam video streaming yang menyoroti kondisi lalu lintas daerah yang dipasang di tiga titik rawan kemacetan, dan e-Paper yaitu majalah elektronik daerah sebagai konsumsi gratis untuk publik.
Meski pengembangan yang dilakukan cukup baik, namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan adanya hambatan-hambatan yang bersifat teknis fungsional. Berdasarkan hasil pengamatan, website kabupaten Brebes masih pada tahap interact, yaitu adanya komunikasi dua arah antara pengelola website dengan pengguna layanan. Sedangkan untuk pelayanan digital yang diharapkan belum terlihat dalam isi tampilan website. Hal ini tentu mengindikasikan adanya hambatan dan kendala yang dialami pengelola dalam mengembangkan e-government menuju tahapan transact yang lebih integrated. Dikatakan belum integrated karena tahapan transact hanya diterapkan pada satu unit, yaitu Lelang Pengadaan Secara Elektronik pada lpse.brebeskab.go.id.

______________________________________
Muhamad Sodikin (publishod@gmail.com)

0 comments:

Posting Komentar

ยช