PELAYANAN PUBLIK SEBAGAI “LOKOMOTIF” MEMINIMALISIR PRAKTEK KORUPSI

Oleh : Muhamad Sodikin   

Korupsi atau yang sering disebut oleh pakar psikolog dengan istilah kleptokrasi, semakin menjadi topic hangat di setiap sudut perbincangan. Tak jarang mereka mengutuk dan mengecam habis-habisan tindakan tidak terpuji itu, dari para akademisi melalui orasi dan tulisannya, praktisi melalui “ngrumpi”-nya, agamawan melalui mimbarnya, kaum kecil melalui keluhan hidupnya, dan mungkin para pelaku yang belum ketahuan belangnya melalui “teriakan”-nya. Hal tersebut menunjukkan hati nurani manusia yang benar-benar menolak keberadaan aktivitas tersebut, terlepas dari permasalahan motif korupsi.

Jika kita tilik hukum kausalitas korupsi di Indonesia, korupsi bukan hanya terjadi pada masa Orde Lama dan Orde Baru saja, melainkan jauh sebelum itu pada masa kerajaan dan penjajahan bangsa western, korupsi telah menjadi “tradisi lokal”. Dalam bukunya Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa 1811-1816) yang berjudul History of Java, dikatakan bahwa di kalangan elit, bangsawan sangat gemar menumpuk harta, suka disanjung, dihargai, dihormati dan tidak suka menerima kritikan dan saran. Karakteristik para bangsawan tersebut secara tidak langsung telah “didukung” oleh masyarakat bawah yang cenderung bersikap “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Budaya yang sangat tertutup ini turut menyuburkan “benih” korupsi di Nusantara. (Point 1. Kurangnya transparansi).

Sekarang kita tilik pelaksanaan Culture Stelsel (Sistem Pembudayaan Tanaman) pada tahun 1830 - yang selanjutnya akan ditulis CS oleh penulis. Dalam prakteknya, pelaksanaan CS telah banyak terjadi penyelewengan yang tidak hanya dilakukan oleh pihak Belanda saja, melainkan juga warga Indonesia. CS yang tujuan utamanya adalah budaya menanam tanaman produktif untuk kesejahteraan masyarakat dan pemasukan kas Belanda, ternyata menjadi lahan basah untuk “Belanda Item” (bangsawan Indonesia yang menjadi antek Belanda) dalam meraup  keuntungan. Hal ini bisa dilihat dari melencengnya kesepakatan antara peraturan dengan kenyataan. Di dalam kesepakatan, penduduk diwajibkan menanam 1/5 tanah miliknya dengan tanaman produktif, namun dalam prakteknya banyak “Belanda Item” mengharuskan penduduk untuk menanam 3/5 tanah milik penduduk dengan tanaman produktif (Agus Sofyan : 2009). (Point 2. Kurangnya akuntabilitas).

Pada masa pascakemerdekaan (Orde Lama), masalah korupsi menjadi agenda penting dalam blue print pembangunan. PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dan Operasi Budhi merupakan lembaga yang menangani kasus korupsi pada masa itu. Salah satu tugas dari PARAN adalah agar para pejabat pemerintah diwajibkan mengisi formulir yang disediakan (istilah sekarang: daftar kekayaan pejabat). Dalam perkembangannya, kewajiban tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Sampai akhirnya “nafas” PARAN mengalami deadlock. Pada tahun 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275/1963 usaha tersebut kembali digalakkan dengan nama Operasi Budhi yang saat itu dipimpin oleh Nasution sebagai Menkohankam / Kasab. Sasaran dari Operasi Budhi adalah perusahaan-perusahaan negara yang rawan praktik korupsi dan kolusi. Ternyata, lembaga ini pun mendapat hambatan, misalnya Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan. (Point 3. Kurangnya Kredibilitas)

Beralih ke masa Orde Baru, pada masa itu dibentuk Tim Pemberantas Korupsi (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung pada tahun 1967. Namun selang tiga tahun pada 1970, TPK dibubarkan karena dianggap tidak memiliki keseriusan, yang kemudian diganti dengan Komite Empat, yang beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof. Johannes, IJ Kasimo, Mr. Wilopo, dan A Tjokroaminoto. Sepeti pendahulunya, Komite Empat ini bak “macan ompong” karena hasil temuannya tentang korupsi di Pertamina tidak ditanggapi pemerintah. Dan akhirnya, Komite Empat hilang ditiup angin waktu. (Point 4. Kurangnya Responsivitas).

Orde Baru yang berusaha meluruskan kesalahan Orde Lama untuk menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekwen, dalam kenyataannya malah sebaliknya yaitu “konkesuen” alias “kelamaan”. Berganti era reformasi yang menjadi lakon. Saat itu Presiden Habibie melalui UU No 28/1999 mendirikan KPKPN, KPPU atau semacam lembaga Ombudsman, dan berikutnya Gusdur sebagai Presiden ke-4 mendirikan  Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi (TGPTPK) yang kemudian Gusdur diduga melakukan penyelewengan kasus Buloggate yang menyebabkan Gusdur digantikan Megawati. Pada masa Megawati, masyarakat melihat secara kasat mata bahwa wibawa hokum semakin merosot, dimana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dari betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan berobat ke luar negeri, pemberian SP3 terhadap konglomerat-konglomerat bermasalah, dan pemberian fasilitas kepada konglomerat dengan kredit macet. Semua itu dijadikan dasar atas anggapan ketidakseriusan pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.  (Point 5. Kurangnya Reliabilitas).

Dan terakhir adalah masa pemerintahan SBY yang telah dua kali memenangkan catur politik di Indonesia. Lembaga pemberantasan korupsi pada masa pemerintahan SBY dikenal dengan istilah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) atau yang pernah dikenal sebagai “Lembaga Cicak” karena kasus perhelatan antara KPK dengan Polri sebagai “Buayanya”. Lantas bagaimana dengan kinerjanya? Biarkan kearifan hati dan waktu yang membuktikannya.
Sejarah di atas menunjukkan poin-poin yang seharusnya bisa dibenahi dalam upaya pemberantasan korupsi. Disadari atau tidak, pada hakikatnya poin di atas tertuang dalam prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik menuju tata kelola pemerintahan yang baik. 

Para ahli administrasi negara mengidentifikasikan 5 dimensi pokok layanan publik :
      - Reliabilitas, mencakup dua aspek utama, yaitu konsistensi kinerja dan sifat terpercaya      (dependability) 
      - Responsivitas, yaitu kesediaan dan kesiapan penyelenggara pelayanan untuk membantu dan melayani
      - Kredibilitas dan Kompetensi, yaitu sifat jujur yang mencakup reputasi, karakter pribadi, dan interaksi dengan pengguna jasa pelayanan. 
      - Transparansi, yaitu kejelasan dalam pemberian pelayanan baik mengenai waktu, biaya dan alur pelayanan
      - Akuntabilitas, yaitu mekanisme pertanggungjawaban kepada masyarakat dan keterlibatan kelompok kepentingan dalam pengambilan keputusan.
Lima aspek di atas merupakan indikator pengukuran kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai client pelayanan. Apabila hal tersebut berjalan sesuai harapan, maka kinerja pelayanan yang ada dinilai telah berkualitas untuk penggunanya.

Dalam konteks negara modern, pelayanan publik telah menjadi lembaga dan profesi yang semakin penting. Hal ini jelas, kentara bahwa pelayanan public merupakan “lokomotif” perubahan menuju tata kelola pemerintahan yang bersih. Dikatakan sebagai lokomotif, karena dimensi pelayanan memiliki nilai-nilai yang bisa secara gamblang dijelaskan dan dijabarkan serta diwujudkan dalam kehidupan riil di tengah kondisi krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akibat akumulasi kekecewaan yang telah meluap.

Pelayanan publik di Indonesia cenderung  memiliki beberapa permasalahan yang mendasar. Selain efektifitas pengorganisasian dan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pelayanan masih relatif  rendah, pelayanan publik juga belum memiliki mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa. Akibatnya, kualitas produk layanan juga belum memuaskan para penggunanya.  Lantas, bagaimana pelayanan publik di daerah anda masing-masing? Apakah posisi subjek dan objek pelayanan masih seperti “batur” dan “raden”? Tentunya sejuta pertanyaan tentang masalah pelayanan publik akan terus mengisi celah kosong di benak kita, mengingat kita tidak akan lepas dari kegiatan tersebut dari sejak kita lahir (mengurus akta) sampai kita tutup usia (mengurus surat kematian).  

2 comments:

ragilputra mengatakan...

terima ksh infonya. semga postingan selanjutnya bisa menambah pengethuan saya ttg analisis sosial budaya indonesia.

publish mengatakan...

Terima kasih komentarnya. Semoga bisa saling menambah wawasan.

Posting Komentar

ª