Oleh : Muhamad Sodikin[1]
Sebenarnya tulisan ini pernah di-publish di redaksi el-zahdy dan Buletin GEMPUR pada 2009 lalu. Tapi buat nambah2 koleksi catatanku, aku publish juga deh di blog baruku. Jadi sorry ya kalo sedikit jadoel ceritanya. OK langsung aja, selamat menikmati kesayuan mataku, kedangkalan pengetahuanku, dan goretan kasar penaku.
“Selalu ada jalan di setiap usaha kita”. Itu yang aku alami selama sebulan di Purwokerto. Di saat aku bingung mencari referensi untuk bahan tugas akhirku, disaat itu juga Tuhan mengulurkan "tangan" lembut-Nya untuk menggugah semangatku melalui hobiku nonton film. Terasa lega waktu itu dan semangat pun “berkobar” lagi.
Film dg judul The Love Scholarship yg menceritakan ttg pemuda genius asal Turki yang mendapat beasiswa ke Amerika berkat penemuannya tentang Koil Tesla yang bisa menghasilkan energi listrik dan mengeluarkan nada. Pemuda tersebut bernama Royan, yang kemudian jatuh hati kepada pelayan restoran bernama Grace. Selama di ngAmrik, kehidupannya sangatlah sederhana dan kurang gaul, sehingga sedikit orang yang mau berteman dengannya. Dan singkat cerita, endingnya dia mendapat Gelar Master of Engineering dengan prdikat cum laude dan kemudian menikahi Grace.
Terdapat adegan yang menurut saya sangat menarik untuk diperhatikan di tengah film tersebut, (walopun adegan ini bukanlah adegan pokok dari sebuah cerita). Ceritanya waktu dia di ngAmrik, dia sempat terkagum dengan sistem perpustakaan di kampus ngAmrik. Saat dia hendak meminjam buku untuk bahan tugas-tugasnya, dia dilayani oleh ibu-ibu yang sudah sangat tua. Paula namanya. Dengan sabar dan telaten Mrs. Paula melayani permintaannya, dari cara ngebrowse catalog di computer sampai cara menemukan bukunya di rak perpustakaan itu. Hingga akhirnya Mrs. Paula mempersilahkan dia untuk mencarinya sendiri dengan cara yang telah dipaparkan dan dipraktekkan.
Selang 1 jam kemudian, buku yg dicarinya ternyata tidak bisa ditemukan di katalog perpustakaan kampus. Lantas dia lapor sama ibu tua nan baik hati itu, kalau buku yang dicarinya tidak ada. Sambil tersenyum, ibu itu berkata, "No big deal! Ente catet aja judul n nama pengarangnya, ntar let me take care of it dah!" (kurang lebih intinya seperti itu, karena aku inget2 lupa bahasa inggrisnya, red.). Dia heran, bagaimana caranya di kota kecil begini bisa dapet buku seperti itu, kecuali beli lewat internet?
Tapi benar, kira-kira selang 3-4 hari kemudian, dia ditelpon pihak perpustakaan bahwa buku yg dicarinya sudah sampai, lengkap 5 buah. Setengah tidak percaya, dia datang ke perpus, dan ketemu petugas perpus yang kali ini kebetulan orang lain (bukan ibu tua nan baik hati itu). Diterimanya buku itu, sambil berkata ke petugas perpus, "Sampein salam saya buat Mrs. Paula, ya? Baik banget mbantuin saya sampai bisa dapat buku yang saya butuhkan!" Petugas perpus itu mengiyakan sambil senyum. Dia pergi dengan tidak lupa mengucapkan terima kasihnya berkali-kali ke petugas perpus itu, bahkan sepanjang perjalanan “mengoceh” bercampur heran tentang kebaikan dan ketulusan hati orang-orang ngAmrik (khususnya Mrs. Paula) dan sistem perpustakaan mereka yang ternyata “linked” satu sama lain antaruniversitas.
Sedikit ulasan cerita tersebtu aku artikan bahwa spirit ketulusan dan kebaikan hati Mrs. Paula adalah nilai-nilai etika religiusitas yang membuat aku bertanya-tanya, “Kenapa bangsa kita yang mengaku religius, tapi membantu orang dengan ikhlas dan tulus saja susah ya?”
Selang beberapa hari setelah aku nonton film tersebut, aku dimintai tolong sama teman di kampung untuk menemaninya membuat SIM. Tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa membuat SIM itu adalah pekerjaan yang sangat membosankan dan menjenuhkan. Selain dari sisi waktu yang dirasa relative lama (meski sudah dengan sistem komputerisasi), dari sisi financial juga bisa terjadi pemborosan (buat beli rokok sambil nunggu, tapi ternyata lebih boros lagi bikin SIM-nya). Tapi hari itu adalah “hari yang baik” buat temanku, karena bertemu dengan bapak petugas yang mau membantunya memperoleh SIM. Dengan sigap dan cekatan, bapak petugas tersebut membawa temanku ke ruang foto, sidik jari dan sebagainya dengan melewati beberapa antrian yang cukup panjang. Setelah semua urusan selesai, temanku merasa memiliki kewajiban untuk mengucapkan terima kasih bukan dalam bentuk bahasa santun. Ucapan tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk amplop yang segera dibuka dan dihitungnya di depan temanku dan aku.
Njenengan ikhlas kan, ngasih segini?, kata bapak petugas sambil tersenyum yang menurut aku agak sedikit dibuat-buat. Aku tahu gelagat, kemudian aku senggol temanku agar dia mau menambahi pembayarannya. Dengan sedikit muka yang cemberut, temanku menambahkan uang secukupnya. Diterimanya uang tersebut dengan sigap (sudah terlatih tampaknya) dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum (kali ini kelihatan senyumnya yang lumayan ikhlas). Aku dan temanku meninggalkan tempat tersebut setelah kami mengucapkan terima kasih seperlunya.
Dengan sedikit nada kesal aku menggerutu di pelataran kantor ditlantas tersebut tentang sikap petugas tadi. Namun gerutuku disanggah oleh temanku. Menurutnya, “kan sudah di patok ‘ikhlas’, jadi gak usah nggerutu. Gak ikhlas itu namanya…”. Sambil ketawa aku menyadarinya.
Dua contoh di atas, aku sampaikan dengan maksud untuk memperjelas watak tradisionil kita. Bukan hendak membandingkan kelebihan-kelebihan sistem di ngAmrik vs kelemahan-kelemahan sistem di ngIndo (karena ngAmrik juga aku gak tahu desanya kayak gimana), tapi justru aku hanya ingin membandingkan respons yang timbul dari keduanya berkaitan dengan watak tradisionil tadi.
Pada cerita yang pertama (film The Love Scholarship), Royan sebagai pengguna jasa perpustakaan, memberikan respons yang berlebihan terhadap “kebaikan hati” Mrs. Paula. Respon yang tidak salah menurutku, sebab cara pandang “tradisionilnya” memang mengharuskan dia mengungkapkan rasa terima kasihnya. Aku katakan berlebihan karena menurut aku “kebaikan” Mrs. Paula adalah bagian dari tugasnya melayani pengguna jasa perpustakaan. Kesadaran akan pentingnya melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan job description-nya itulah yang aku tangkap sebagai nilai kebaikan Mrs. paula, bukan pada “kerepotannya” berbaik hati mencarikan 5 buku ke jaringan perpustakaan antaruniversitas. Jadi tidak ada kaitannya dengan urusan apakah Mrs. Paula adalah orang yang memang baik hati atau tidak, religius atau tidak, ataupun punya niat baik atau tidak. Tapi hal itu murni karena tuntutan tugas dan tanggung jawab Mrs. Paula sebagai petugas perpustakaan (kalau bukan karena tuntutan tersebut, mungkin Mrs. Paula juga enggan melayaninya dengan prima). Inilah contoh “kebaikan modern” yang dibungkus dengan sistem modern, dan tidak ada kaitannya dengan urusan nurani.
Contoh kedua adalah contoh “kebaikan tradisionil” yang dibungkus dengan sistem modern. Respon temanku jelas positif karena bapak petugas itu mampu mendahulukan dia melewati beberapa antrian yang cukup panjang, dan dengan sigap melayani dia memperoleh SIM. Secara cultural, temanku wajib mengucapkan rasa terima kasih karena bantuannya yang dinilai berlebihan itu mampu menimbulkan perasaan “tidak enak” (rikuh pekewuh atau utang budi), sehingga temanku merasa berkewajiban untuk membalas “kebaikannya” dengan ikhlas. Kerudung “ikhlas” ini diperlukan untuk membuang perasaan-perasaan tidak enak yang timbul belakangan. Dengan berikhlas-ria, mungkin temanku akan merasa lebih plong dan tidak terbebani dengan tanggung jawab moralnya. Anggap saja itu sebuah amal. Toh niat bapak petugas itu memang hendak membantu temanku. Dilihat dari segi pelayanan birokrasi, beliau sudah menampilkan kesigapan yang diharapkan dalam penyelesaian tugasnya melayani publik.
Sekilas kedua contoh tersebut tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Mrs. Paula melaksanakan tugasnya tanpa dilandasi “niat baik” dan hasilnya memang baik. Sedangkan bapak petugas itu melaksanakan tugasnya dengan dilandasi “niat baik” membantu orang yang kesulitasn seperti temanku dan hasilnya sama-sama baik. Masalahnya, melewati beberapa antrian yang cukup panjang membuat “niat baik” bapak petugas tadi jadi kurang baik dan kurang pada tempatnya (no place utility). Meminjam istilah Kumorotomo bahwa kerudung “ikhlas” yang bapak petugas lontarkan pada dasarnya hanyalah sebuah excuse-religious (ungkapan keagamaan) yang salah. Ukuran-ukuran kebaikan demikian jelas bukan ukuran yang dimaksud dalam parameter pelayanan publik yang diharapkan. Ukuran melaksanakan tugas ala Mrs. Paula sebaliknya justru lebih terkait dengan maksud layanan publik yang diharapkan masyarakat.
Oleh karena itu, “niatan-niatan baik” ala bapak petugas ini haruslah diatur dengan jelas dengan mencantumkan aturan-aturan larangan pada papan di kantor pelayanan. Apabila dengan dipasangnya aturan tersebut, tetapi masih terdapat praktek “niatan-niatan baik” tersebut, itu mungkin saja dikarenakan kita sebagai pengguna layanan publik masih menanggapinya dengan cara-cara tradisionil, model utang budi dan “keikhlasan” tadi. Padahal kalau kita mampu memahaminya dengan lebih jeli, bahwa rasa terima kasih yang selalu diwujudkan dalam bentuk “amplop” merupakan perwujudan yang tidak sesuai dengan tempatnya (no place utility). Itu merupakan produk watak tradisionil kita yang memandang bahwa “bantuan” oran lain haruslah diberi balasan yang setimpal. Seolah-olah kita masih tidak percaya bahwa, “Gusti Allah mboten sare”.
Kita semua mungkin belum mampu untuk melakukan itu kan? Pasalnya, coba saja kita bilang pada bapak petugas itu “Pak, terima kasih atas bantuannya sehingga saya bisa memperoleh SIM. Saya doakan bapak diberi balasan kebaikan sama Gusti Allah, rezeki yang banyak, dan kesehatan serta berkah yang melimpah”, lantas kita pamit dan meninggalkan bapak petugas itu. Dijamin, bapak petugas itu pasti lupa dengan petuah-petuah keikhlasan yang sudah secara terlatih dia lontarkan ketika menerima rasa terima kasih dalam bentuk amplop. Sebagai gantinya, bapak itu akan dengan ikhlas melontarkan omelan panjang pendek kepada kita. Dan pastinya kita tidak akan tega untuk melakukan hal tersebut. Entah itu karena kita menaruh respect (hormat) kepada bapak petugas itu atau kita cari jalan aman agar tidak kena caci maki dan dicap sebagai orang yang tidak tahu diri? – kita kan paling takut kalau dicap sebagai orang yang tidak tahu diri. Bener kan? (Akui saja!).
Disinilah letak watak “ketradisionilan” kultur kita. Respon yang sama-sama tradisionil menyikapi layanan publik modern. Yang satu tidak merasa apa-apa (tidak ada “niat baik” atau what’s ever lah), sebaliknya yang satunya lagi memiliki “niat baik” dan merasa sudah memberikan budi yang mau tidak mau secara tradisionil harus kita tanggapi dengan membalas kembali budi baik tersebut. Hanya saja kita enggan untuk mengakui bahwa kita masih tradisionil dan belum siap menjalankan watak “modernitas” bahkan dalam hal-hal yang terkecil sekalipun. Mungkin benar apa yang dikatakan Webster (ahli administrasi publik) bahwa “masyarakat Indonesia dengan kultur tradisionalisme-agrarisnya memang belum siap memiliki birokrat yang bersih”. Tapi menurut aku, mungkin juga karena birokratnya sendiri masih tradisionil juga kali ya…???
Dari sinilah, saya berharap untuk kampong kelahiranku agar setiap pelayanan publik yang ada harus selalu mempertimbangkan etika pelayanan (service ethics), baik pelayanan KTP, Perijinan, SKCK dan lain-lainnya. Betapa pentingnya etika pelayanan tersebut untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap birokrat pemerintahan. Dengan tumbuhnya kepercayaan, kita mampu membangun (established) tanah kelahiran kita dengan lebih tegak untuk menyongsong tantangan global yang extra kompetitif.
[1] Pemuda yang peduli akan kampungnya.
0 comments:
Posting Komentar