Tulisan ini lahir dari pernyataan salah satu teman lama yang mengatakan bahwa e-mail yang dikirimnya sebanyak 3 kali kepada situs daerah dimana saya lahir tidak pernah mendapatkan respon dari pengelola situs tesebut. Terkirimkah atau tidak? Bukan bermaksud menjadi “pahlawan kesiangan” (the daylight superhero) untuk sang teman lama yang baru bersua, tapi hanya sekedar mencari tahu penyebab dari hal itu. Langsung saja ke Teh Kah Peh….
Pengiriman e-mail merupakan salah satu cara non-konvensional dalam melakukan interaksi masyarakat dengan pemerintahnya. Hal ini merupakan salah satu aktivitas e-government, yaitu suatu penetrasi baru yang menjadi topic hangat di bidang pelayanan public. Secara harafiah, e-government (electronic government) memiliki arti pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk mentransformasikan hubungan-hubungan antara pemerintah, masyarakat dan swasta agar terjadi interaksi hubungan yang komunikatif dan integratif. e-Government menawarkan pelayanan yang 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, real-time dan kapanpun kita membutuhkannya. Dengan kalimat lain, e-government memberikan waktu pelayanan non-stop setiap harinya tanpa melakukan tatap muka sekalipun.
Di Indonesia sendiri, e-Government mulai dikenal sejak diluncurkannya Inpres No. 3/2003 tentang Strategi dan Kebijakan Nasional Pengembangan e-Government. Merasa inpres tersebut masih terlalu konseptual dalam penjabarannya, pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi menyebar-luaskan guidelines (panduan umum) sebagai rencana strategis pengembangan e-government kepada departemen, LPND dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia (Isi guidelines bisa ditanyakan ke mbah google). Selain adanya guidelines tersebut, pemerintah melalui Keppres No. 20/2006 telah mendirikan Dewan Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional (DeTIKNas) yang bertugas untuk menentukan arahan strategis pembangunan nasional melalui pendayagunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Meskipun telah banyak kebijakan yang mengatur tentang pengembangan e-Government, namun program tersebut masih belum bisa memenuhi harapan masyarakat tentang kualitas pelayanan public yang diselenggarakan melalui e-government ini. Dari data yang diperoleh dari United Nations: E-Government Survey 2010, Indonesia berada pada peringkat 109 dari 184 negara di dunia dan di ranking ke-7 dari 11 negara di ASEAN ( lihat disini )
Bukti lain dari rendahnya kualitas pelayanan e-government ditunjukkan oleh Rokhman (2009) dalam papernya yang berjudul “Is e-Government Not Compatible with Our Culutre? (A Study about Responsiveness of e-Government Administrators in the Case of Public Service)” yang menemukan bahwa dari 90 situs pemerintah daerah dan kota di Indonesia yang dijadikan sampel penelitiannya, terdapat 46 situs yang menyediakan link kontak (e-mail, guestbook, FAQs, dll) sebagai media interaksi antara pengguna dengan pengelola situs – dalam hal ini adalah birokrat pemerintah. Sedangkan 44 situs tidak menyediakan link kontak. Dan dari fungsionalitas link kontak tersebut, terdapat 23 e-mail terkirim dan 67 e-mail gagal terkirim. Sedangkan dari sisi kecepatan daya tanggap pengelola situs, dari 23 e-mail terkirim hanya 5 e-mail yang mendapatkan balasan, sedangkan 18 e-mail tidak mendapatkan respon alias berhasil dicueki.
Ternyata usut punya usut, tidak dibalasnya e-mail tersebut dikarenakan factor budaya dan kurangnya sumberdaya manusia yang khusus ditugaskan untuk meng-handle e-mail keluhan dan saran dari pengguna yang ditujukan kepada birokrat pemerintahan. Adanya asumsi bahwa membuka e-mail tidak penting karena tidak dibutuhkan dan tidak ada dalam Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) Pegawai Negeri juga menjadi salah satu penyebab fenomena diatas (tidak diresponnya e-mail pengguna). Dalam kontek ini, terlihat jelas kurangnya komitmen pegawai pemerintah dalam menyediakan pelayanan yang minim kertas (paperless) sesuai dengan visi e-government yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menganut paradigm pemerintahan klasik konvensional yang dicirikan dengan semua urusan yang didasarkan pada pendekatan legal-formal (procedural, yaitu birokrasi yang identik dengan budaya kertas, stempel, dan tanda tangan. Sedangkan e-mail atau media interaksi digital lainnya tidak dianggap sebagai perhatian utama (prime attention) karena tidak adanya aktivitas penyetempelan dan penandatangan. (hasil studi bisa dilihat disini).
Dari gambaran data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif tersebut, bisa dijadikan acuan untuk menjawab sebuah pernyataan yang terlontar di atas. Ada dua kemungkinan tidak diresponnya e-mail pengguna dikarenakan oleh: 1) kemungkinan tidak terkirimnya electronic mail pengguna, dan 2) birokrat malas merespon karena tidak bisa mempromosikan secara langsung kepada si pengguna kalau harga stempel dan tanda tangannya sedang diskon besar-besaran. Jadi, bagaimana dengan pengalaman anda tentang cara berhubungan fisik atau non-fisik dengan para birokrat dari tingkat desa sampai negara? Menggairahkan, mengasyikkan, atau – maaf – memuakkan?
0 comments:
Posting Komentar