PARADIGMA BARU ILMU ADMINISTRASI HUBUNGAN KOMPLEMENTER ANTARA SEKTOR NEGARA, MEKANISME PASAR DAN ORGANISASI NON-PEMERINTAH MENUJU DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK (Oleh: Gud Reacht Hayat Padje*)

Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan mereka mendapat akses dan kemampuan untuk dapat menggunakan pelayanan publik. Akan tetapi permintaan akan pelayanan tersebut biasanya jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk dapat memenuhinya.

Desentralisasi adalah sebuah paradigma yang mencoba menggugat kelemahan-kelemahan yang ada pada diskursus sentralisasi. Pemusatan segala urusan publik hanya kepada negara, dengan jargon idealnya Walfare State, dalam realitasnya
hanyalah sebatas retorika. Sebab, urusan pelayanan publik yang demikian kompleks, mustahil dapat diurus “secara borongan” oleh institusi negara.

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ kelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan dan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Miftah Thoha, 1991). Sedangkan Handayaningrat (1988), membedakan antara pelayanan masyarakat yaitu aktivitas yang dilakukan untuk memberikan jasa-jasa dan kemudahan-kemudahan kepada masyarakat. Sedangkan satu lagi, adalah pelayanan umum (public service) yaitu pelayanan yang diberikan dengan memegang teguh syarat-syarat efisiensi, efektivitas dan penghematan dengan melayani kepentingan umum di bidang produksi atau distribusi yang bergerak di bidang jasa-jasa vital.

Jika dilihat dari segi dimensi-dimensi pelayanan dapat dibagi dalam beberapa jenis, misalnya Chitwood (dalam Frederickson, 1988) menyebutkan apabila pelayanan public dikaitkan dengan keadilan, maka bisa dibagi ke dalam tiga bentuk dasar, yaitu:

1. Pelayanan yang sama bagi semua. Misalnya pendidikan yang diwajibkan bagi penduduk usia muda.

2. Pelayanan yang sama secara proporsional bagi semua, yaitu distribusi pelayanan yang didasarkan atas suatu ciri tertentu yang berhubungan dengan kebutuhan. Misalnya jumlah polisi yang ditugaskan untuk berpratoli dalam wilayah tertentu berbeda-beda berdasarkan angka kriminalitas.

3. Pelayanan-pelayanan yang tidak sama bagi individu-individu bersesuaian dengan perbedaan yang relevan. Ada beberapa kriteria mengapa pelayanan itu tidak sama antara lain: satu, pelayanan yang diberikan berdasarkan kemampuan untuk membayar dari penerima pelayanan. Dua, penyediaan pelayanan-pelayanan atas dasar kebutuhan-kebutuhan.

Berkembangnya ragam pelayanan publik dan kian tingginya tuntutan pelayanan publik yang lebih efisien, cepat, fleksibel, berbiaya rendah serta memuaskan, akan menjadikan negara pada posisi “kewalahan” manakala masih tetap memaksakan dirinya sebagai satu-satunya institusi yang “paling syah” dalam memberikan pelayanan. Bahkan jika ia tetap menempatkan diri sebagai agen tunggal dalam memberikan pelayanan, pastilah akan berada pada posisi “payah”. Karena itu, emngurus sesuatu yang semestinya tidak perlu diurus, haruslah ditinggalkan oleh negara; agar lebih berkonsentrasi pada urusan-urusan yang lebih strategis dan krusial.

Karena itu, konsep desentralisasi sebenarnya bermaksud untuk mengurangi beban negara yang berlebihan dan tidak semestinya. Ia merekomendasikan berbagai hak, wewenang, tugas dan tanggungjawab dengan masyarakat (baik terorganisir maupun tidak) dalam mengurusi dan memberikan pelayanan publik agar tidak semakin “kepayahan”. Bahkan ia memberikan rekomendasi agar rakyat diperbolehkan mengurusi dirinya sendiri; dan tidak serba menyerahkan segala urusannya kepada negara.

Pengertian desentralisasi dan otonomi, sampai saat ini sebenarnya masih terdapat banyak pendapat. Setiap orang mempunyai tafsiran yang berbeda terhadap “istilah” yang disebut dengan desentralisasi dan otonomi ini. Sebagai akibatnya, terdapat beragam pengertian yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.

PBB misalnya, pada tahun 1962 mengartikan desentralisasi sebagai (1) dekonsentrasi, yang juga disebut desentralisasi birokrasi atau administrasi, dan (2) devolusi yang sering juga disebut sebagai desentralisasi demokrasi atau politik, yang mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada perwakilan yang dipilih melalui pemilihan lokal.

Di lain pihak, Lemieux (dalam Zuhro, 1998) menyatakan bahwa secara konseptual, desentralisasi dn otonomi dipandang sebagai suatu hak dan kewenangan daerah untuk mengatur dirinya sendiri, baik yang menyangkut keputusan administrasi maupun keputusan politik dengan tetap memperhatikan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan menurut Rondinelli, (1981) menyatakan bahwa desentralisasi sebagai : “The transfer or delegatian of legal and outhority to plan, make decisions and manage public functions from the central governmental its agencies to field organizations of those agencies, subordinate units of government, semi autonomous public corporation, area wide or regional development authorities; functional authorities, autonomous local government, or non-governmental organizational” (desentralisasi merupakan transfer atau pendelegasian wewenang politik dan hukum untuk merencanakan, membuat keputusan dan memanage fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat dan lembaga-lembaganya terhadap organisasi-organisasi di lapangan dari lembaga-lembaga tersebut, unit-unit pemerintah, otoritas pembangunan regional; wewenang fungsional; pemerintah-pemerintah otonomi lokal; atau lembaga-lembaga non-pemerintahan).

Berdasarkan pendapat tersebut desentralisasi dikategorikan atas tiga kategori, yaitu:

1). Dekonsentrasi,

2). Delegasi,

3). Devolusi,

Dekonsentrasi pada dasarnya merupakan bentuk desentralisasi yang kurang ekstensif, yang sekedar merupakan pergeseran beban kerja dari kantor-kantor pusat departemen kepada staff, itu mungkin tidak diberikan kewenangan untuk merumuskan bagaimana yang dibebankan kepadanya harus dilaksanakan.

Delegasi adalah bentuk desentralisasi dalam wujud pembuatan keputusan dan kewenangan-kewenangan manajemen untuk menjalankan fungsi-fungsi publik tertentu pada organisasi-organisasi tertentu dan hanya dikontrol secara tidak langsung oleh departemen pusat.

Devolusi diartikan sebagai wujud kongkrit dari desentralisasi politik (political decentralization). Ciri-ciri pokok dari devolusi ini antara lain :

Pertama, diberikan otonomi penuh dan kebebasan tertentu kepada pemerintah lokal, serta kontrol yang relatif kecil dari pemerintah pusat terhadapnya.

Kedua, pemerintah lokal ini harus memiliki wilayah dan kewenangan hukum yang jelas dan ebrhak untuk menjalankan segala kewenangan hukum dan berhak menjalankan fungsi-fungsi publik dan politiknya (pemerintahannya).

Ketiga, pemerintah lokal harus diberikan “corporate status” dan kekuasaan yang cukup untuk menggali sumber-sumber yang diperlukan untuk menjalankan semua fungsi-fungsinya.

Keempat, perlu mengembangkan pemerintah lokal sebagai institusi, dalam arti bahwa ini akan dipersiapkan oleh masyarakat lokal sebagai organisasi yang menyediakan pelayanan yang memuaskan kebutuhan mereka sebagai satuan pemerintah dimana mereka mempunyai hak mempengaruhi keputusan-keputusan.

Kelima, devolusi mensyaratkan adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan serta koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Uphoff (1998) merekomendasi keterlibatan tiga sektor dalam memberikan pelayanan publik, ialah sektor negara (government/state), pasar (market) dan Non Government Organization (NGO)/Grassroot Organization/civil institution. Bahkan ia memandang bahwa keberhasilan suatu pembangunan banyak bergantung kepad rekayasa sinergi yang positif di antara ketiganya. Ketiganya merupakan institusi yang saling melengkapi dan berhubungan.

· Pada sektor pemerintahan: (1) yang menjadi mekanisme pengendali adalah organisasi birokrasi yang berlevel mulai dari pusat sampai ke desa, (2) sebagai pengambil keputusan adalah para administrator yang dikelilingi oleh elit ahli, (3) dalam memberikan layanan mendasarkan kepada aturan-aturan birokrasi (perundang-undangan), (4) kriteria keberhasilan keputusan adalah banyaknya kebijaksanaan yang berhasil diimplemenasikan, (5) dalam memberlakukan sangsi mempergunakan kekuasaan negara yang mempunyai sifat memaksa, dan (6) modus operandi layanan mendasarkan mekanisme yang berasal dari atas (top down) atau pemerintahan sendiri.

· Pada sektor privat: (1) mekanisme pengendali layanan publik mengandalkan proses pasar, (2) pengambilan keputusan dilakukan oleh individu, para penabung dan investor, (3) pedoman perilaku adalah kecocokan harga, (4) kriteria keberhasilan keputusan/layanan adalah efisiensi yaitu memaksimalkan keuntungan dan atau kepuasan dan meminimalkan kerugian dan atau ketidakpuasan, (5) sanksi yang berlaku berupa kerugian finansial, (6) modus operandi pelayanan dilakukan oleh perorangan.

· Pada sektor sipil: (1) mekanisme pengendali pelayanan adalah suatu asosiasi sukarela, (2) pembuatan keputusan pelayanan dilakukan secara bersama-sama oleh pemimpin dan anggota, (3) pedoman perilaku adalah persetujuan anggota, (4) yang dijadikan sebagai kriteria keberhasilan suatu keputusan adalah terakomodasinya interes anggota, (5) sanksi yang ada berupa tekanan social anggota, dan (6) modus operandi pelayanan dilakukan dari bawah (bottom up).

Pada sektor ketiga, terdapat perbedaan antara Non Government Organization (NGO) dan Grassroot organization (GRO). NGO merupakan organisasi yang jaringannya sampai ke tingkat internasional. Karena itu, strukturnya juga jelas mulai dari tingkat internasional sampai ke tingkat individual. Sedangkan GRO atau organisasi akar rumput adalah suatu organisasi yang tumbuh dari bawah. Ia tidak terstruktur sampai ke tingkat internasional, bahkan tidak jarang, GRO ini tumbuh dengan tingkatan lokal belaka.

Dengan demikian, sebagai sumber pelayanan publik maka peranan negara sangat komplementer dengan mekanisme pasar maupun organisasi non pemerintah. Ketiga sumber pelayanan publik itu sama-sama diperlukan di dalam proses transformasi sosial ekonomi masyarakat. Masing-masing seharusnya bekerja secara komplementer di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas.

Pertimbangan utama untuk memberikan kekuasaan kepada mekanisme pasar dalam penyediaan dan pendistribusian kebutuhan masyarakat adalah karena mekanisme kerjanya yang sangat efisien. Kekuatan-kekuatan di dalam pasar bekerja dengan sangat efisien karena mereka dirancang oleh profit. Hanya mereka yang bisa bekerja secara efisien akan dapat menikmati profit. Mekanisme kerja pasar yang ditentukan oleh harga sangat berbeda dengan mekanisme kerja birokrasi karena birokrasi bekerja berdasar atas kewenangan dan monopoli; oleh karena itu mekanisme kerja birokrasi cenderung tidak efisien.

Namun demikian, tidak semua kebutuhan masyarakat dapat disediakan oleh pasar secara efisien. Adakalnya mekanisme pasar secara ekonomis tidak efisien dan secara sosial tidak dapat diterima sebagai suber pelayanan publik (economic and social market failures). Dalam penyediaan barang-barang kebutuhan umum (public goods and social goods) mekanisme pasar seringkali tidak bekerja secara efisien, karena mekanisme harga tidak bisa bekerja dengan baik (karena adanya eksternalitas atau karena persyaratan yang dibutuhkan untuk bekerjanya mekanisme pasar tidak terpenuhi). Dalam situasi yang demikian ini, kehadiran birokrasi pemerintah atau lembaga non pemerintah diperlukan sebagai salah satu alternatif penyedia pelayanan publik.

Kingsley (1996) merekomendasikan perlunya reformasi karakter Pemerintah Lokal (internal reform) dengan menerapkan beberapa teknik sebagai berikut:

(1) “performance measurement”, dengan terdapatnya catatan laopran yang jelas dari hasil-hasil kegiatan dan mengukur efisiensi relatif, misalnya dengan biaya/harga per unit pelayanan yang diberikan.

(2) “independent and objective audits”, baik terhadap performance dan managemen keuangan.

(3) “performance contracts”, dengan tetap menjaga hubungan yang baik dengan pihak lain (departemen, swasta atau NGOs).

(4) “decentralization of responsibility within government”, dengan membagi habis tugas-tugas dan memberikan target yang jelas terhadap pejabat-pejabat di bawahnya.

(5) “introducing customer orientation and access”, dengan mempublikasikan rencana-rencana dan laporan kegiatan, menetapkan “one-stop-shops” untuk memudahkan dalam pengurusan perijinan, dan sebagainya.

(6) “a competitive mode of service provision”, dengan cara yang kompetitif dalam memberikan pelayanan antara pemerintah, swasta dan NGOs. Ide-ide ini dikembangkan di negara-negara berkembang seperti India, Equador, Mexico, Ghana, dan sebagainya.

Dengan reformasi etrsebut diharapkan akan dapat membentuk masyarakat sipil (civil society) yan kuat dan terdapat “entrepreneurial leadership” untuk dapat memobilisasikan kelompok-kelompok di luar pemerintah dalam rangka pelayanan publik yang lebih baik.



* Dosen tetap Universitas PGRI NTT, dan mahasiswa Pascasarjana Program Studi Magister Administrasi Publik Universitas Jember Tahun 2006


DAFTAR PUSTAKA



Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A (Ed), 1983. Decentralization and Development : Policy Implementation in Developing Countries, Sage Publications, London.



Frederickson, G, 1988. Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta.



Handayaningrat, S, 1988. Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional, CV Haji Masagung, Jakarta.



Kingsley, Thomas G, 1996. Perspectives on Devolution, APA Journal AUTUMN.



Rondinelli, Dennis A. etc, 1981. Decentralization in Developing Countries : A Review of Recent Experience, World Bank Staff Working Papers. Washington DC.



Thoha, Miftah, 1991. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Birokrasi, Widya Mandala, Jogjakarta.



Uphoff, Norman, “Grassroots Organizations and NGOs in Rural Development : Opportunities with Diminishing States and Expanding Markets”. Dalam Janvry, Alain de, et.all, 1995. State, market and Civil Organizations : New Theories, New Practices and their Implications for Rural Development, Mac Millan Press LTD, London.



Zuhro, R Siti, 1998, “Otonomi dan Pemerintahan Daerah di Thailand”. Dalam Laporan Penelitian : Pemerintahan Lokal dan Otonomi Daerah di Indonesia, Thailand dan Pakistan, PPW-LIPI,

0 comments:

Posting Komentar

ยช